77betsports

andara 99 - Ruwet Masalah Film Vina: Antara Etika, Hukum, dan Edukasi

2024-10-08 19:34:50

andara 99,total jp login,andara 99Jakarta, CNN Indonesia--

Vina: Sebelum 7 Hari menjadi perbincangan dalam beberapa hari terakhir. Film yang didasarkan dari kisah nyata kasus pembunuhan Vina di Cirebon pada 2016 lalu menuai pro dan kontra di publik.

Sejumlah pihak menuding film yang dirilis 8 Mei 2024 tersebut mengeksploitasi tragedi yang menimpa Vina Dewi Arsita yang dirudapaksa beramai-ramai dan dibunuh.

Lihat Juga :
Produser Buka Suara Usai Film Vina Banjir Kritik Netizen

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara itu, bagi mereka yang mendukung, film ini dianggap sebagai pesan pengingat bahwa kasus Vina belumlah selesai dan masih ada sejumlah pelaku juga dalang yang masih bebas.

Situasi film yang dihadapi film Vina bagai buah simalakama. Pengamat perfilman dan budaya populer Hikmat Darmawan pun menilai kemelut yang dihadapi film ini cukup kompleks dan berlapis.

[Gambas:Video CNN]



Hikmat sendiri menilai film Vina tidak melanggar hukum dan Surat Tanda Lulus Sensor dari Lembaga Sensor Film (LSF) yang didapat film ini adalah bukti tidak ada ketentuan konten yang dilanggar Vina sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film dan Permendikbud Nomor 14 Tahun 2019.

Pilihan Redaksi
  • Tiga DPO Pembunuh Vina Cirebon Masih Berkeliaran, Berikut ciri-cirinya
  • Keluarga Soal Adegan dan Cerita Film Vina: Sudah Sesuai
  • Cerita Pilu Ayah saat Saksikan Vina Cirebon Embuskan Napas Terakhir

"Kalau memang enggak melanggar, ya, buat apa dilarang? Namun, tidak melanggar hukum belum tentu tidak melanggar etik," kata Hikmat saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.

"Etik itu siapa yang menegakkan? Kalau dalam sebuah industri yang sehat mestinya asosiasi. Kan ada etika profesi, maka asosiasi profesi lah yang menegakkan itu," lanjutnya.

Persoalan etika itu menjadi masalah rumit karena bersifat subjektif. Terlebih pihak produser menegaskan tidak mengeksploitasi kisah itu karena digarap apa adanya.

Produser Dheeraj Kalwani alias K.K. Dheeraj juga mengklaim telah berkonsultasi dengan keluarga sejak produksi hingga film itu tayang, termasuk soal konten yang terkandung di dalam cerita.

"Semuanya ada konsultasinya, dari praproduksi sampai syuting. Dari skenario kita kasih tahu keluarga," ujar Dheeraj saat ditemui dalam kesempatan terpisah.



"Pertama itu dari sinopsis. Kami kasih tahu seperti ini ceritanya, skenario, terus di lokasi syuting juga kami undang keluarganya. Semua keluarga hadir di lokasi syuting dan keluarga sangat mendukung," lanjutnya.

Ketua LSF, Rommy Fibri Hardiyanto mengatakan film Vina: Sebelum 7 Hari dinyatakan lulus sensor lantaran penggambaran kekerasan tidak ditonjolkan secara gamblang dan dianggap memiliki kriteria untuk film 17 tahun ke atas.

"Adegan kekerasan berupa tangan dan kaki patah serta pemerkosaan adalah jawaban ketika keluarga memandikan mayat Vina dengan luka di sekujur tubuh akibat dianiaya bukan kecelakaan," kata Rommy dalam pernyataan kepada CNNIndonesia.com.

"Kriteria-kriteria penilaian LSF atas film Vina adalah film pengungkapan satu kasus dikemas secara sinematis, lulus untuk Dewasa 17 atau lebih dengan catatan kekerasan proporsional tidak sadis secara visual, dan tidak vulgar dalam pengambilan gambar dari berbagai sudut. Ini terdapat dalam PP 18 Pasal 35," katanya.

Lanjut ke sebelah...

Menurut amatan Hikmat, kegaduhan soal Vina: Sebelum 7 Hari berawal dari perbedaan nilai yang dianut penonton film Indonesia. Setiap penonton memiliki kompas moral yang beragam saat mengonsumsi film.

Edukasi lantas menjadi solusi konkret yang dapat digencarkan. Nilai moral masyarakat secara kolektif perlu ditumbuhkan, terutama terhadap konten-konten yang muncul di film atau medium hiburan lain.

Lihat Juga :
Keluarga Soal Adegan dan Cerita Film Vina: Sudah Sesuai

Literasi itu juga patut dibarengi sosialisasi tentang budaya menyaksikan film sesuai dengan klasifikasi usia. Situasi ini merupakan sumbu dari segala persoalan, tetapi tidak kunjung teratasi.

Hikmat kemudian menilai edukasi menjadi satu urgensi yang paling tepat untuk dilaksanakan, alih-alih mendorong lembaga tertentu untuk memiliki kuasa lebih dalam menyensor hingga menentukan nasib penayangan sebuah film seperti pada masa lalu.

"Pendidikan melek klasifikasi dan melek film itu tanggung jawab berbagai pihak, termasuk orang tua dan juga media," ungkap Hikmat.

"Itu adalah fakta yang harus kita hadapi... Berarti yang harus ditingkatkan edukasinya, bukan ditingkatkan kuasa sensornya," lanjutnya.

Namun, bukan berarti produser dan sutradara bisa bebas dalam situasi ini. Pembuat film perlu bertanggung jawab atas karya yang mereka suguhkan ke publik.

Dheeraj Khalwani, produser film dari Dee Company.Produser film Vina: Sebelum 7 Hari, Dheeraj Kalwani alias K.K. Dheeraj, mengklaim telah berkonsultasi dengan keluarga sejak produksi hingga film itu tayang, termasuk soal konten yang terkandung di dalam cerita. (CNN Indonesia/Muhammad Feraldi)

Hikmat mengatakan pembuat film dapat memenuhi tanggung jawab itu dengan terbuka atas kritik setelah film dirilis. Sutradara dan produser juga harus terbuka jika ada yang mengoreksi nilai-nilai film mereka.

TILIKAN
  • Comedy Strikes Back: Faktor X Agak Laen Bisa Laris Manis
  • Lampu Kuning Film Horor (Religi) Indonesia itu Muncul dari Arah Kiblat
  • Akankah Taylor Swift Makin Moncer dengan Tortured Poets Department?

Persoalan tanggung jawab juga disampaikan oleh Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin. Mariana menilai film yang didasarkan dari kisah nyata ada baiknya memberikan pelajaran, empati, atau empati terhadap korban.

Apalagi, sineas selaku kreator adalah pihak yang paling paham menerjemahkan kisah nyata tersebut menjadi gagasan hingga adegan dalam layar. Selain itu, sineas kini juga sudah diberikan kekuasaan penuh menentukan adegan yang harus disensor.

"Jadi seharusnya film itu kalau menaikkan kisah nyata tentang tragedi, dia perlu menunjukkan empati dan tanggung jawabnya," kata Mariana.

"Kalau soal tanggung jawab dari pembuat karyanya, tapi kan kepekaannya harus diuji ketika membuat film itu. Bukan semata-mata agar pelakunya ditangkap, tapi juga pikirkan korbannya yang sudah enggak ada, dan juga keluarganya," kata Mariana.

[Gambas:Video CNN]



Setelah itu, industri film perlu menumbuhkan keragaman film yang beredar di layar lebar. Keragaman produk itu menjadi krusial untuk mencegah sejumlah produser yang kerap latah dalam menentukan arah produksi film.

Hikmat juga meyakini pilihan film yang kian beragam bakal memperkecil peluang dominasi film dengan penuh kontroversi.

"Sebenarnya yang harus ditumbuhkan keragaman minat masyarakat yang harus lebih banyak. Jadi, supaya produser enggak keenakan kalau satu laku terus latah gitu," ujar Hikmat.

"Kalau masyarakat punya pilihan yang sama-sama bikin ingin menonton, saya kira film-film yang sekadar latah saja usia [tayangnya] pendek." lanjutnya.

Infografis Cara dan Tahapan Film Bisa Lulus SensorInfografis Cara dan Tahapan Film Bisa Lulus Sensor. (Basith Subastian/CNNIndonesia)